Blog ini berisi tentang 1001 cerita rakyat seperti kumpulan dongeng, fabel, legenda suatu wilayah, cerita lucu, kumpulan motivasi. Selamat Membaca.

Total Tayangan Laman

Perang Bubat Antara Majapahit dan Sunda



Sejarah Perang Bubat berasal dari Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Prabu Linggabuana yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda. Ketertarikan Prabu Hayam Wuruk terhadap putri Prabu Linggabuana diawali dengan beredarnya lukisan sang putri Dyah Pitaloka di kerajaan Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman berbakat pada masanya yang bernama Sungging Prabangkara.

     Niat pernikahan antara kedua kerajaan yaitu untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Di samping itu, Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan alasan politik, yaitu untuk menambah persekutuan dengan Negeri Sunda. Berdasarkan restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Prabu Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka.
     Pernikahan akan diadakan di Kerajaan Majapahit. Namun pihak kerajaan Negeri Sunda merasa keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Hali Ini terjadi karena menurut adat yang berlaku di Nusantara, karena pengantin pria harus datang kepada pihak pengantin perempuan. Bersamaan itu, pihak kerajaan Sunda berfikir bahwa ini adalah jebakan diplomatik Kerajaan Majapahit untuk melebarkan kekuasaannya, karena telah menaklukkan Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

      Prabu Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Kerajaan Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua kerajaan tersebut. Hingga tiba suatu hari Prabu Linggabuana memutuskan berangkat bersama rombongan Kerajaan Sunda ke Kerajaan Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

      Prabu Linggabuana datang ke Pesanggrahan Bubat bersama putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Namun terdapat kesalahpahaman dimana Mahapatih Gajah Mada ingin menaklukkan Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin membuktikan Sumpah Palapa jauh sebelum Prabu Hayam Wuruk naik tahta untuk menguasai Nusantara.

     Pada suatu hari, Mahapatih Gajah Mada sengaja membuat alasan dengan beranggapan bahwa kedatangan Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri kepada Kerajaan Majapahit. Gajah Mada menghadap Prabu Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin perempuan, tetapi sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda dan pengakuan kehebatan  Kerajaan Majapahit atas Kerajaan Sunda di Nusantara.

    Pada suatu hari, terjadi insiden perselisihan antara pengawal Prabu Linggabuana dengan Mahapatih Gajah Mada. Perselisihan ini berakhir dengan Gajah Mada dimaki-maki oleh utusan Kerajaan Sunda. Utusan Kerjaan Sunda berani memaki karena terkejut kedatangan mereka dianggap sebagai tanda takluk dan mengakui Kerajaan Majapahit, bukan karena pertemuan pengantin.

     Prabu Hayam Wuruk sebenarnya belum memberikan titah, tetapi Mahapatih Gajah Mada sudah bergerak dengan pasukannya yang bernama Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Prabu Linggabuana. Demi mempertahankan kehormatan Kerajaan Sunda, Prabu Linggabuana menolak tawaran Mahapatih Gajah Mada.

    Disinilah terjadilah peperangan antara Mapahatih Gajah Mada dengan pasukannya yang banyak melawan Prabu Linggabuana dengan pasukan pengawal yang bernama Balamati yang sedikit beserta para petinggi kerajaan dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peperangan ini berakhir dengan gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga Kerajaan Sunda di lapangan Bubat.

     Sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, yaitu mengakhiri hidupnya untuk membela kehormatan bangsa dan negeri Kerajaan Sunda.

    Prabu Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Prabu Hayam Wuruk menyesalkan tindakan lapangan Bubat dan mengirimkan utusannya yang bernama darmadyaksa dari Bali yang berencana di Kerajaan Majapahit menjadi tamu pernikahan antara Prabu Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka. Tetapi Prabu Hayam Wuruk mengutusnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Kerajaan Sunda, serta menyampaikan bahwa peristiwa Bubat akan dimuat dalam kitab Kidung Sundayana dan Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya.

        Setelah tragedi Pesanggrahan Bubat, Prabu Hayam Wuruk menikahi sepupunya yaitu Paduka Sori.

    Setelah Perang Bubat, hubungan Prabu Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada merenggang. Mahapatih Gajah Mada sendiri menghadapi kecaman dari pejabat dan bangsawan Kerajaan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak menghormati titah Prabu Hayam Wuruk. Peristiwa yang penuh kesesalan ini membuat Mahapatih Gajah Mada turun dari Kerajaan Majapahit. Kemudian Prabu Hayam Wuruk memberikan tanah perdikan di Madakaripura yang saat ini bernama kota Probolinggo. Keputusan Prabu Hayam Wuruk ini dapat ditafsirkan sebagai pengarahan secara halus agar Mahapatih Gajah Mada mulai mempersiapkan hari turun dari Mahapatih. Oleh karena tanah ini terletak jauh dari ibu kota Kerajaan Majapahit, sehingga Mahapatih Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari Kerajaan Majapahit walaupun gelar Mahapatih masih melekat pada Mahapatih Gajah Mada sampai akhir hayatnya.

    Tragedi Perang Bubat merusak hubungan kenegaraan antara kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit sangat sulit pulih. Pangeran Niskalawastu Kancana yaitu adik kandung Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Kerajaan Majapahit karena pada saat itu masih terlalu mudah dan anak-anak. Putri Niskalawastu menjadi satu-satunya keturunan Prabu Linggabuana yang masih hidup dan kemudian naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

    Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit dan menerapkan aturan dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Terdapat peraturan Prabu Niskalawastu Kancana yaitu larangan estri ti luaran, yaitu tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Negeri Sunda, atau ada yang mengartikan bahwa tidak boleh menikah dengan keturunan negeri Majapahit. Hingga saat ini aturan ini ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Di kemudian hari, Prabu Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi".



- SEKIAN
Share:

Si Kancil dan Si Rubah




Suatu hari, ada seekor rubah yang sedang bermain di dalam hutan. Tiba-tiba rubah itu melihat seekor kancil yang sedang duduk santai di bawah pepohonan yang rindang, dengan mengintip di antara dedaunan sang rubah mengambil kerikil yang kecil lalu ia melemparkannya ke arah kancil yang sedang istirahat. Karena berhasil mengenai tubuh kancil, rubah itu pun tertawa dengan suara yang pelan, dan berusaha untuk tetap sembunyi.
Kancil yang terkena lemparan kaget dan mencari siapa yang melemparnya, Rubah yang sudah merasa berhasil menjahili Kancil, rubah itu tidak menyadari kalau kancil telah melihatnya, dengan sedikit marah Kancil juga mengambil kerikil dan melemparkannya ke arah Rubah. Sang Rubah merasa sedikit kesakitan dan berkata, “Beraninya kamu melempar saya!”
“Kamu kan yang duluan ngelemparkan saya?” jawab kancil dengan nada yang lantang. Rubah pun mengambil batu yang lebih besar dan kembali melempar kancil, kancil yang melihat lemparan tersebut dengan gesit menghindari lemparan itu. TAPI di saat yang bersamaan Beruang sedang berjalan di belakang Kancil. Karena lemparan Rubah tidak mengenai kancil, batu besar itu mendarat tepat di atas hidung Beruang.
“Siapa yang melakukan ini?”, Teriak Sang Beruang, dengan sedikit ketakutan Kancil menunjuk ke arah Rubah. Rubah yang merasa bersalah langsung kabur menyelamatkan diri, dengan penuh rasa marah beruang berlari mengejarnya. Karena tubuhnya yang lebih besar beruang tidak bisa menangkap Rubah yang berlari dengan cepat di antara pohon-pohon tumbang. Rubah terus menjauhi beruang, walau Rubah merasa belum aman, Sang Rubah tetap berlari dan akhirnya sampai di tepi sungai, dia pun bingung tak tahu harus lari kemana lagi, sambil mencari cara untuk menyeberang sungai dia pun menelusuri sungai dan sesekali menoleh ke belakang.
Dalam kebingungannya si Rubah bertemu dengan seekor unta yang sedang merendam tubuhnya di sungai, “Halo sobat berpunuk” sapa Rubah dengan akrab. “Halo teman kecil” jawab Unta.
“Apakah air sungai ini dalam, sobat?” Tanya Rubah.
“Tidak, sungai ini hanya sebatas lututku saja. Kau boleh masuk”, jawab Unta.
“Lihatlah tubuhku, jika sungai ini dalam, pasti hanya kepalaku saja yang akan kelihatan”, lanjut Unta.
Ketika keduanya asyik mengobrol tiba-tiba muncul Beruang dari dalam hutan, tanpa berfikir panjang, Rubah pun langsung lompat ke sungai. Unta yang melihat Rubah langsung masuk ke sungai terheran-heran karena setelah masuk ke sungai, Rubah tak muncul-muncul lagi, hanya terlihat gelembung air di permukaan seperti air mendidih. Ternyata Rubah tidak bisa berenang dan tenggelam. Namun beruntung bagi Rubah karena ia segera ditolong oleh Unta dengan mengangkatnya naik ke tepi sungai. Setelah sadar dari peristiwa tenggelam, dia malah memarahi “ternyata kamu bohong, bilangnya hanya sampai lutut saja kenapa saya bisa tenggelam?!”.
“Sang Unta tidak membohongimu Rubah, coba kamu lihat air sungai batasnya sampai lutut kan? Tetapi karena kamu bertubuh pendek, sungai ini jadi dalam dan permukaan air di atas kepalamu hahaha…” jawab kancil yang juga muncul dari dalam hutan.

Atas kejadian ini, mereka semuapun tertawa melihat Rubah sadar dari tenggelam di tepi sungai.



SEKIAN ...
Share:

Cerita Si Kancil dan Sang Gajah


      Pada suatu hari yang petang, sang Kancil yang cerdik berjalan pelan-pelan di dalam hutan lebat. Ia sedang berjalan pelan-pelan dan tiba-tiba Kancil tak sengaja terjatuh ke jurang yang sangat dalam. Ia coba untuk keluar berkali-kali tapi nasibnya malangnya dan tidak berdaya.

Setelah segala usaha yang dilakukan kancil sia-sia, sang Kancil pun berpikir, “Macam mana aku bisa keluar dari lubang yang sempit nan dalam ini? Kalau hujan tiba, aku bisa tenggelam disini!?”

walau lama berpikir dan tak ada ide yang tepat untuk Kancil keluar dari lubang ini, sang Kancil tetap tidak mau berputus asa dan terus berfikir untuk keselamatannya.

Dalam situasi yang kehabisan akal mencari ide, Kancil mendengar bunyi tapak kaki yang besar,

“Hmmm... Kalau bunyi tapak kaki ramai ni, ini tak lain, pasti hewan gendut dan berkaki empat yakni gajah... Kesempatan ni...”


Lalu Kancil mendapat satu ide yang tepat menyelamatkan diri dari lubang yang dalam itu.


Ending Versi Pertama :

Kemudian Sang Gajah yang tiba itu pun melihat dan menegur Kancil,

“Eh Kancil imut, lagi buat apa kau?” Tanya si Gajah gendut.

“Menyelamatkan diri laaah!”, jawab Kancil.

“Dari apaan, Cil?” Balas si Gajah.

“Dari bahaya, coba tengok ke atas, langit sudah hitam, tinggal beberapa menit lagi akan air hujan turun dari langit!” Jawab Kancil.

Gajah yang tak tahu apa-apa ini pun terus mempercayai Kancil.

“Lalu macam mana kau selamatkan diri?” Tanya Gajah.

“Masuklah sekali dalam lubang ini, kalau langit hujan, kita akan selamat dari bahaya”

Tanpa berpikir panjang, Gajah pun melompat ke dalam lubang. Lalu Kancil langsung mengambil kesempatan dengan melompat ke atas badan gajah dan keluar dari lubang yang dalam itu.

“Hahaha,,,, murung amat muka kau, selamatlah diriku” Kemudian Kancil pun berlari pergi meninggalkan Gajah yang masih gelisah di dalam lubang tadi”.



- SEKIAN


Ini adalah versi cerita Gajah tidak berfikir sebelum bertindak.
Mari kita simak cerita versi kedua dengan Gajah yang Bijaksana.



Ending Versi Kedua :

“Aku terjatuh dalam lubang yang besar Gajah, dah berkali-kali aku coba keluar tapi tak bisa, bagaimana kalau engkau berbelas kasih menolongku keluar dari lubang ini? Aku akan membagikan tebu yang paling besar di dalam hutan rimba ini!”, balas Kancil.

“Baiklah Cil, tapi aku bisa keluarkan kau dengan cara apa?”, tanya Gajah.

“Coba tengok sekelilingmu, mungkin mana tau ada dahan kayu yang tumbang untuk keluarkan aku dari lubang dalam ini!”, kata Kancil.

“Oh aku tengok ada dahan kayu besar nan kuat!”, kata Gajah dengan mengambil dahan kayu.

Kemudian Gajah menggunakan kekuatannya menahan dahan kayu dengan belalainya ke dalam lubang.

Lalu Kancil dapat keluar dari lubang yang gelap itu. Seperti yang dijanjikan, Ia memberikan gajah tebu paling besar di dalam hutan rimba.


- SEKIAN 
Share:

Cerita Gadis Kerudung Merah dan Sang Serigala


  Suatu hari di tepi hutan kaki gunung, berdirilah sebuah rumah. Rumah itu tidak begitu besar, tetapi dari luar terlihat sangat nyaman. Di dalam rumah itu tinggal seorang wanita tua. Meskipun sudah tua, wanita itu masih mampu mengurus dirinya sendiri. Di seberang hutan di belakang rumahnya, ada sebuah desa di mana putrinya hidup. Dari putrinya, wanita itu memiliki seorang cucu. Yaitu Seorang Gadis Kecil yang manis.
Gadis kecil itu lahir saat tengah malam, saat bulan purnama penuh bersinar terang bahkan di tengah hutan yang gelap. Dan mungkin karena itulah gadis kecil itu memiliki kulit putih hampir pucat yang membuatnya seperti selalu bersinar di antara anak lainnya. Yang membuat gadis kecil itu berbeda yaitu dia sama sekali tidak takut saat malam hari. Dia seperti menjadi lebih berani saat bulan terlihat.

       Saat gadis itu merayakan ulang tahunnya yang kelima, Sang nenek menghampiri dan memberinya kado ulang tahun yang terbungkus dalam kertas berwarna coklat dan diikat dengan pita berwarna putih cerah. Dengan penasaran gadis kecil itu membuka kadonya. Setelah pita dibuka dan lipatan kertas diuraikan, matanya melebar berbinar-binar dan berkata, "Waaaw...". Dengan kedua tangan kecilnya, gadis itu mengangkat benda berwarna merah di hadapannya dan memandanginya dengan wajah memerah dan senang gembira. Setelah memeluknya sambil berputar-putar, gadis kecil itu berhenti di pangkuan neneknya dan tersenyum lebar. "Terima kasih nenekkuu, aku senaaaang sekali, aku sayang nenek!".

     Sang Nenek mengecupnya dan mengucapkan selamat ulang tahun sambil tersenyum. Kemudian, gadis kecil itu mulai kebingungan bagaimana harus memakai benda merah itu. Ia berlari menghampiri ibunya dan memberikan hadiahnya pada ibunya, dia meminta agar ibunya segera memakaikan benda merah cantik itu padanya. Ibu gadis kecil itu mengangkat benda itu lalu memasangkannya di baju gadis kecil. Dia mengikat tali di kedua bahu dan menutupi bagian kepala dengan kerudung merah yang menggantung dari jubah merahnya. Setelah terpasang, gadis itu tersenyum lebar dan berputar-putar, membuat jubah merahnya melayang. Saat itu, gadis kecil melupakan kado lainnya dari ibu dan ayah yang belum terbuka dan masih tertata di atas lantai.

      Di sisa hari itu, gadis kecil terus memakai jubah merahnya hingga tertidur di atas sofa di depan perapian. Gadis kecil itu tidur di pangkuan neneknya dan berharap agar neneknya tidak pulang ke rumahnya yang berada di sisi lain hutan. Jadi, nenek itu tinggal bersama putrinya untuk semalam.



      Di tengah hutan belantara, terdapat sebuah gua yang lebar. Di dalam gua itu terdapat seekor serigala kecil yang tinggal sendirian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan kawanan serigala lainnya dan ia sudah sangat terbiasa hidup sendirian di dalam gua itu.

     Hingga siang tiba, saat serigala kecil itu sedang menikmati tidur siangnya untuk menghindari cahaya terang matahari, telinganya tiba-tiba bergoyang dan berdiri tegak saat mendengar suara di dekat lubang guanya. Ia mengangkat lehernya sedikit ke atas lalu mengendus bau yang masuk dari luar gua, dan ia mendengkur dan kembali melanjutkan tidur siangnya. Di luar gua, seekor kelinci gemuk dengan bulu coklat tebal sedang melompat melewati mulut gua dan masuk ke dalam lubang di bawah pohon besar terdekat.

      Yang bisa diingat serigala kecil, ia belum pernah sekalipun melihat serigala lain di dalam hutan belantara. Ia sama sekali tidak tahu di mana orang tuanya berasal dan bahkan apakah ia memiliki orang tua.

     Sang Serigala berjalan ke desa dengan jubah berkerudung yang pernah ditemukannya di tepi sungai agar telinga berbulunya tertutupi. Ia memandangi orang-orang yang kadang memberinya sepotong roti dengan rasa gemas. Iia berjalan tanpa tujuan mengelilingi desa dan melihat anak-anak kecil berlarian kesana kesini. Terkadang anak-anak kecil itu menatapnya, lalu mereka tersenyum lebar dan melambaikan tangan padanya.

     Terakhir kalinya serigala kecil itu berjalan menuju desa, ia bertemu dengan gadis kecil yang memakai jubah merah. Gadis itu menatapnya dengan penasaran, dan saat serigala kecil itu menatapnya balik, gadis itu tersenyum lebar dan menghampirinya, lalu gadis kecil itu  memberinya sebuah benda bulat berwarna-warni yang terasa manis. Serigala itu mencicipi makanan itu. Dan untuk pertama kali, serigala itu membalas senyuman yang diberikan padanya. Lalu gadis kecil itu bersama wanita yang memegang tangannya sejenak meninggalkan serigala kecil duduk sendirian sambil memakan benda bulat manis di kaki tangannya.

      Hari itu terasa berbeda dan serigala kecil berharap akan bertemu lagi dengan gadis berkerudung merah yang manis dan seorang wanita tua yang entah mengapa membuatnya merasa nyaman saat wanita tua itu mengusap kepalanya.

    Setelah matahari terbenam dan bulan purnama mulai muncul di langit malam, serigala itu mengangkat kepalanya. Matanya yang berwarna hitam mengkilat di dalam gua, dalam waktu singkat warna hitamnya memudar dan pupil matanya berubah berwarna keemasan. Ia berjalan keluar dari dalam gua untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Pertama, serigala kecil berjalan ke arah sungai untuk menghilangkan rasa haus. Dan setelah puas minum, serigala itu mencuci wajahnya dan tangan kakinya yang sedikit kotor. Ia melakukannya saat akan berjalan ke desa. Di malam itu, ia tidak ingin ke desa, namun ia ingin berjalan ke tempat lain.

   Beberapa saat berjalan, serigala kecil sampai di dekat tepi hutan. Ia berhenti saat mencium aroma wangi dan membuatnya lapar dalam sekejap. Dengan penasaran, serigala itu mulai mendekati asal aroma hingga sampai di tepi hutan. Sebuah rumah kecil berwarna coklat berpagar abu-abu dengan halaman depan dipenuhi bunga tampak di depannya. Dari cerobongnya tampak asap tipis berwarna kelabu. Jendela rumahnya tampak bercahaya keemasan, dan serigala kecil hanya terbelangak di pinggir hutan.

      Tanpa sadar kakinya perlahan mendekati rumah itu, aroma wangi yang menyerbu hidungnya seperti membuat tubuhnya melayang. Sebelum serigala itu menyadarinya, pintu rumah itu terbuka dan seorang wanita tua berambut keperakan muncul dan menatapnya. Saking terkejutnya, serigala kecil hanya balik menatap wanita itu, Ia lupa menutupi telinganya di kedua sisi kepalanya. Ternyata wanita tua itu tersenyum padanya dan memanggilnya masuk. Dengan patuh serigala kecil  berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu, lalu menatap wanita tua yang masih tersenyum padanya.

     "Kamu mau berdiri terus di situ atau masuk dan ikut mencicipi rotiku yang masih hangat di depan perapian ini?" tanya wanita itu membuat serigala kecil menatapnya dan dengan malu masuk ke dalam rumah. Lalu wanita tua berjalan di depannya dan menyuruhnya duduk di sebuah kursi di depan perapian. Kemudian wanita tua itu membawa dua buah piring berukuran sedang dan memberikan salah satunya pada serigala kecil. Dengan mata hitam berbinar, serigala itu menatap sepotong roti di piringnya. Roti itu adalah makanan paling berbau sedap yang pernah diciumnya selain aroma manis permen manis yang pernah dicicipinya. Terlebih lagi roti itu mengeluarkan uap yang membuatnya susah menahan lapar.

      Serigala itu lalu melihat wanita tua di hadapannya, wanita itu memotong rotinya dengan garpu kemudian menusuk potongan rotinya dan memakannya. Dan serigala itu berusaha menirunya. Saat memasukkan roti itu ke dalam mulutnya, mata serigala itu berbinar-binar dan Ia mulai menghabiskan rotinya dengan lahap yang membuat wanita tua itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Sepotong roti yang habis untuk kesekian kalinya, serigala itu sekarang memegang cangkir yang mengepul. Cairan di dalamnya berwarna putih kental. Namun serigala kecil sangat menyukai baunya yang sedap. Ia merasa pernah mencium aroma itu tetapi sama sekali tak mengingatnya. Perlahan serigala itu mulai meminumnya, tetapi masih tidak mengingat kapan dan di mana Ia mencicipi rasa yang mirip itu. Wanita tua itu masih saja menatapnya hingga serigala kecil menghabiskan seluruh isi cangkirnya dan memegang cangkirnya sambil menjilati bibirnya yang berkumis putih. Walau masih ada aroma susu yang melekat di cangkir itu, dan Serigala kecil masih menyukainya.

    "Apa yang kau lakukan di hutan?" tanya wanita tua itu memecahkan kesunyian. serigala kecil hanya menatapnya dan perlahan telinganya terlihat turun, dan menyatu dengan rambut hitamnya. Mata Serigala kecil itu kembali pada cangkir di tangannya.

     "Aku, tinggal di hutan," Serigala itu menjawabnya dengan lirih seolah dia baru saja bisa berbicara dengan suara manusia. Tanpa sadar wanita tua itu terkejut, tetapi dengan cepat ia menyembunyikannya dan tersenyum lalu mulai menanyai serigala kecil itu dengan pertanyaan sederhana.
        Satu hal yang segera disadari wanita tua itu yaitu anak kecil dengan wajah manis dan rambut hitam mencuat yang sewarna dengan matanya itu adalah anak serigala humanoid yang entah bagaimana memiliki bentuk lebih menyerupai manusia (kecuali untuk telinganya), dan anak serigala itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya adalah seekor serigala kecil humanoid. Dan dari selera makannya, wanita itu langsung bisa menebak kalau serigala kecil yang duduk di hadapannya sangat jarang memakan sesuatu yang masih berdarah dan sering berkeliaran di desa. Entah kenapa, serigala kecil itu menyukai berada di dekat manusia, mungkin karena instingnya yang membuatnya lebih nyaman berada di dekat sesamanya.

       Ternyata Serigala kecil itu mengendus aroma sedap dari wanita tua itu dan tiba-tiba mendekati nenek dan melahap nenek. Melihat foto nenek bersama gadis kecil berkerudung merah, serigala kecil itu memakai baju nenek dan berpura-pura menjadi nenek hingga gadis kecil itu pulang.

       Di hari yang menjelang petang, gadis berkerudung merah pulang dan menemui serigala kecil yang berpura-pura menjadi nenek. Dengan melihat Nenek yang sedikit berubah, Gadis kecil itu bertanya, "Telinga Nenek besar sekaliii?".
        Serigala Kecil itu menjawab, "Supaya aku bisa mendengarmu lebih jelas cucuku sayang".
        "Tapi mata Nenek kok besar makin besar nek?" Tanya Gadis kecil itu
        "Supaya aku bisa melihatmu lebih jelas cucuku sayang"
        "Tapi Nek, mulut Nenek kok jadi lebih besar Nek?" Tanya Gadis kecil terkahir kali.
        "Supaya Nenek mudah menyantapmu!" Kata Serigala kecil Humanoid lalu tiba-tiba memakan gadis kecil berkerudung merah itu. Kemudian Serigala kecil itu tertidur di atas kasur milik gadis kecil tadi.

        Tanpa disadari, aksi Serigala kecil itu ditonton oleh penebang kayu melalui celah sempit dinding. Ketika Serigala kecil tertidur pulas, penebang pohon itu membuka perut Serigala kecil dan mengeluarkan gadis kecil dan Nenek yang ternyata masih bernafas. Secepatnya isi perut serigala kecil diisi kembali dengan batu-batu dan Ia menjahitnya kembali.

          Di keesokan harinya, Serigala kecil itu bangun dan merasakan berat didalam perutnya. Ia berusaha beranjak dari tempat tidur gadis kecil dan ternyata terjatuh dari tempat tidur dan mati seketika. Di sore, Gadis kecil dan Nenek berhutang budi dengan penebang kayu dan kembali menjalani hidup normal sebagaimana mestinya.


- SEKIAN - 
Share:

Cerita Sang Kancil Bertemu Siput


   Pada suatu hari si kancil terlihat mengantuk dengan mata yang sipit. Matanya terasa amat berat dibuka. “Huaaammm ....”, Si Kancil menguap. Hari itu cukup cerah, Si Kancil merasa rugi jika berdiam diri. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengabaikan rasa kantuknya sejenak. Sesampainya di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak, “Wahai penduduk seluruh hutan rimba, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik, dan pintar di hutan yang luas ini!!! Tidak ada satupun yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku!!!”.

     Sambil menaikkan kepalanya, si Kancil mulai berjalan menuruni bukit itu. Ketika sampai di tepi sungai, ia bertemu dengan seekor siput kecil. “Hai kancil!”, sapa si Siput.
      “Kenapa kamu berteriak lantang tadi? Apakah kamu sedang senang sekarang?”, tanya si Siput.
     “Tidak, aku hanya ingin memberitahu pada penghuni-penghuni hutan rimba ini kalau aku adalah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar daripada yang lainnya”, jawab si Kancil dengan penuh keyakinan.
     “Sombong amat kamu Kancil, kamu salah! Sebenarnya akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini!”, kata si Siput.
     “WHahahaha....... mana mungkin Siput sekecil dirimu?” Kata si Kancil.
     "Sebagai pembuktian, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?", si Siput menantang Kancil.
     “Baiklah! Aku terima tantanganmu wahai Siput....”, jawab si Kancil.
      Akhirnya mereka berdua sepakat mengadakan perlombaan lari di keesokan pagi hari.

      Setelah si Kancil pergi terlebih dahulu, si Siput segera mengumpulkan temannya di dalam hutan rimba. Ia meminta tolong agar semua temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan besok paginya, dan menjawab kalau si Kancil memanggilnya.

      Hari perlombaan yang dinanti sudah tiba, Si Kancil dan Si Siput pun siap beradu lomba lari.
      “Apakah kamu siap kalah dari lomba lari melawanku”, tanya si Kancil.
      “Tentu saja tidak, dan aku pasti akan menang”, jawab si siput.
   Kemudian si Siput mempersilahkan Kancil berlari dahulu dan segeralah berlari dan memanggil si Siput, agar Si Kancil tahu sampai mana si Siput.

    Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia pasti akan menang. Setelah Kancil melangkahkan kakinya beberapa langkah, si Kancil memanggil si Siput. “Siput! Halo Siput! .... Sudah sampai mana kamu, Siput?”, teriak si Kancil.
   “Aku ada di depanmu Cil!”, teriak si siput. Kancil terkejut dan terheran-heran, lalu segera mempercepat langkahnya.
     Kemudian Ia memanggil si Siput, dan si Siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada di depanmu, Cil!”

     Akhirnya si Kancil berlari, tetapi tiap Ia memanggil si Siput, Ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan Kancil. Hingga tiba saatnya Kancil merasa keringatnya bercucuran, kakinya terasa lelah dan nafasnya terengah-engah.
      Kancil berlari terus menerus sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah Kancil sangat gembira sekali, karena ketika si Kancil memanggil si Siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa Ia adalah pemenang dari perlombaan lari pagi itu.

     Betapa terkejutnya si Kancil, karena dia melihat si Siput sudah duduk manis di batu dekat garis finish. “Hai Kancil! Kenapa kamu lama sekaliii? Aku sudah menunggumu dari tadi!”, teriak si Siput. Dengan rasa malu yang menusuk sampai ke ulu hati, si Kancil menghampiri si Siput dan mengakui kekalahan telaknya. “Makanya jangan sesekali sombong!!! Kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan tercerdik di hutan rimba ini”, kata si siput.
      “Iya, maafkan aku Siput, aku tak akan menyombongkan diri lagi”, kata si Kancil.


- SEKIAN 
Share:

Translate

Labels

Featured Post

Perang Bubat Antara Majapahit dan Sunda

Sejarah Perang Bubat berasal dari Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Prabu Linggabuana yang bernama Dyah Pitaloka Citr...

About Me

My photo
semua konten blog-blog yang saya publis adalah 100% lulus uji konten dari berbagai Duplicate Checker, terima kasih ........ My Contacts : Instagram : @suhendravebrianto ,, Twitter : @suhendravebrian
-------- SUBSCRIBE untuk mendapatkan tutorial Adobe Photoshop dan After Effect yang super keren.

Recent Posts

Populer Stories

Suhendra Vebrianto. Powered by Blogger.

BTricks

cursor

Mushroom Shroom