Blog ini berisi tentang 1001 cerita rakyat seperti kumpulan dongeng, fabel, legenda suatu wilayah, cerita lucu, kumpulan motivasi. Selamat Membaca.

Total Tayangan Laman

Asal-Usul Ikan Duyung


     Pada suatu hari, terdapat sebuah kampung di daerah Sulawesi Tengah. Disana terdapat sepasang suami-istri yang hidup bersama tiga orang anaknya. Dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sang Ayah mencari nafkah dengan menanam sayuran dan umbi-umbian dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi hari, sebelum ke ladang, sang Ayah selalu sarapan bersama istrinya dan ketiga anak tersayangnya.
     Di suatu pagi dan senja, sepasang suami-istri dan ketiga anaknya sedang sarapan pagi dengan lauk ikan. Pada saat itu, persediaan lauk ikan memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga mereka tidak mampu menghabiskan lauk ikan itu. Setelah sarapan pagi, sang Ayah pun bersiap menuju kebun. Sebelum berangkat, Ia berpesan kepada istri tercintanya. 
      “Wahai istriku! Tolong simpan sisa lauk ikannya untuk makan siang nanti yaa”
      “Baik, suamiku,” jawab istrinya.
          Lalu berangkatlah sang Ayah menuju Ladang. Sang Istri segera menyimpan sisa lauk ikan itu di dalam lemari makan. Menjelang siang hari, anak bungsu mereka tiba-tiba menangis meminta makan. Ia sangat kelaparan setelah setengah hari selalu bermain dengan kakak-kakaknya. Sang Ibu pun segera mengambilkan sepiring nasi dan beberapa cuil daging ikan yang disimpan. Anak bungsu itu memakan makanan itu dengan lahap. Beberapa menit berlalu, lauk ikan yang dikasihkan ibunya langsung ia habiskan tanpa tersisa. Anak bungsu meminta lauk ikan tambahan kepada ibunya.
             “Ibu... Ibu... aku ingin lauk ikan lagi,” pinta si anak bungsu dengan menangis.
             “Tapi sedikit yaa, Anakku! Sisakan juga agar Ayahmu bisa makan nanti siang,” bujuk sang Ibu.
         Tetapi sang Ibu tidak bisa membujuk si anak bungsu berhenti menangis. Bahkan, Ia menangis sambil berguling di tanah. Sang Ibu tidak tega melihat anaknya kelaparan. Lalu sang Ibu memberikan semua sisa ikan itu kepada si anak bungsu. Lalu Ia berhenti menangis.
             Hari sudah siang, sang Ayah akan pulang dari ladang. Ia merasa lapar dan meminta istrinya untuk menghidangkan makanan. Dengan perasaan cemas, sang istri segera menghidangkan makanan seadanya. Setelah hidangan dibawa, sang Ayah sadar bahwa hidangan ada yang kurang.
             “Istriku, mana sisa ikan tadi pagi? Kenapa tidak ada?” tanya sang Ayah.
          “Maaf, Suamiku! Tadi si anak bungsu menangis dan berguling sambil meminta lauk ikan,” jawab istrinya.
            “Lalu kenapa kamu berikan semuanya padanya?” tanya sang Ayah dengan emosi.
            “Maaf, Suamiku! Aku hanya memberinya beberapa cuil lauk ikan, tetapi si anak bungsu terus menangis dan berguling di tanah meminta ikan lagi. Aku tak tega melihatnya, Saumiku! Sehingga aku memberikan semua sisa ikan itu padanya,” jawab Sang Istri.
         Mendengar jawaban Sang Istri, Sang Ayah semakin marah dan tak mau menerima alasan apapun lagi.
         “Aku tak mau tahu. Aku sudah memberimu pesan agar menyimpan sisa lauk ikan itu untuk siang!” bentak sang Ayah.
           Sang Istri tak bisa berkata satu katapun. Ia hanya menangis dan meminta maaf kepada suaminya. Ia meminta maaf kepada suaminya berkali-kali. Namun sang Suami tidak berhenti marah, bahkan kemarahannya semakin meluap. Sang istri yang tidak tahan dimarahi lalu meneteskan air mata.
         “Aku sudah tak sanggup tinggal di rumah ini. Suamiku sungguh tak mau memaafkan aku lagi,” keluh sang Istri dalam hati.
        Kemudian sang Istri memutuskan pergi. Hingga malam tiba, ketika suami dan anak-anaknya sedang tidur nyenyak, diam-diam Ia pergi dari rumah dan menuju laut.
         Di pagi harinya, sang Ayah dan ketiga anaknya terbangun dari tidurnya. Lalu setiap pagi hari, mereka berkumpul untuk sarapan bersama. DAN sangat terkejutnya sang Ayah karena hidangan sarapan bersama tidak ada. Dengan perasaan kesal, Ia berteriak memanggil istrinya.
              “Istrikuuu... Istrikuuuu...! Kamu di manaa?”
          Berulang kali sang Ayah memanggil istrinya, tapi tak ada balasan sama sekali. Sang Ayah yang gelisah bersama ketiga anak mereka sedang mencari sang Ibu di sekitar rumah mereka. Mereka sudah mencari ke mana-mana, tetapi mereka tidak menemukan sang Ibu.
           “Ayah!!! Apa yang harus kita lakukan? Lalu Si Anak Bungsu menangis tak tahan menahan rasa lapar” tanya si anak Sulung kepada Sang ayah.
              “Ayo, kita cari ibu kalian di laut!” kata sang Ayah.
              “Kenapa harus di laut, Ayah?” tanya lagi si anak Sulung.
            “Mungkin ibu kalian sedang menangkap ikan di laut. Bukankah si anak Bungsu kemarin menangis meminta lauk ikan?” kata sang Ayah.
          Mendengar perkataan sang Ayah, si anak Sulung mengajak kedua adiknya menuju laut untuk mencari sang ibu. Sesampainya di laut, mereka memanggil ibu mereka dengan bernyanyi:
               Ibu pulanglah Ibu...
               Ibu pulanglah Ibu...
               Si Anak Bungsu ingin menyusu...
             Tak lama kemudian, tiba-tiba ibu mereka muncul dari laut dengan membawa beberapa ikan segar, lalu segera menyusui si Anak Bungsu. Setelah menyusui, sang Ibu berpesan pada ketiga anaknya.
              “Wahai, anak-anakku! Sekarang pulanglah ke rumah. Pasti Ayah kalian sudah menungggu”
              “Ayo Bu! Kita pulang bersama-sama!” kata ketiga anak itu sambil menarik tangan sang Ibu.
             “Kalian pulanglah dulu! Ibu nanti menyusul. Dan bawalah ikan segar ini untuk makan siang dengan Ayah kalian. Ibu masih mencari ikan lagi untuk kalian,” kata sang Ibu.
         Ketiga anak itu menuruti kata sang Ibu. Mereka pulang dengan membawa ikan segar dari hasil tangkapan Sang Ibu. Ketika tiba di rumah, mereka segera melapor pada sang Ayah.
         “Ayah, Ayaaah... Benar! Ternyata Ibu kita berada di laut untuk mencari ikan. Ini adalah hasil tangkapan Ibu,” kata si anak Sulung dengan menunjukkan ikan segar yang mereka bawa.
              “Lalu ke mana Ibu kalian? Kenapa Ibu tak pulang bersama kalian?” tanya sang Ayah.
             “Ibu masih mencari ikan lagi, Ayah!” jawab ketiga anak itu bersama-sama.
             “Kalau begitu, ayo kita panggang ikan itu untuk makan siang kita nanti!” kata sang Ayah.
           Ketiga anak itu melaksanakan apa kata sang Ayah. Lalu ikan-ikan tersebut selesai dipangggang. Namun, sang Ibu belum datang juga.
           “Ayo Nak, kita habiskan ikan pangggang ini! Tak usah menunggu Ibu kalian!” Kata sang Ayah.
         “Tapi, kasihan Ibu, Ayah! Kalau ikan pangggang ini kita makan, nanti Ibu mau makan apa? Ibu pasti sangat lapar setelah dari laut nanti,” kata si anak Sulung.
        “Diam kau Sulung! Kamu tak usah kasihan kepada Ibumu! Bukannya Ibu juga tak kasihan pada Ayah?! Karena memberikan semua sisa ikan sarapan kemarin pada si anak bungsu,” kata sang Ayah.
        Mendengar bentakan Sang Ayah, si anak Sulung dan kedua adiknya tak berani melawan dan terpaksa mematuhi perintah sang Ayah. Dengan perasaan bimbang, ketiga anak itu menghabiskan ikan panggang hangat bersama sang Ayah hingga selesai. Namun Sang Ibu belum datang-datang. Perasaan ketiga anak itu mulai cemas jika terjadi sesuatu pada ibu mereka. Hati mereka sangat cemas ketika sore tiba. Sang Ibu juga masih tak pulang. Tapi mereka tak berani menyusul Sang Ibu di laut, karena sudah malam.
        Keesokan harinya tiba, lalu ketiga anak itu menuju laut dan menemui sang Ibu. Sesampainya di laut, mereka tak melihat Sang Ibu. Lalu mereka memanggil dan bernyanyi lagi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Anak Bungsun ingin menyusu...
        DAN tiga kali mereka bernyanyi, tibalah Sang Ibu yang baru muncul dari laut. Ketiga kakak beradik itu sangat terkejut ketika melihat tubuh ibu mereka dipenuhi dengan sisik ikan. Mereka sangat kaget dan takut serta tak percaya kalau perempuan bersisik itu adalah ibu kandung mereka. Si Anak Bungsu juga tak mau menyusu padanya.
         “Mendekatlah, anak-anakku sayang! Aku ini ibu kalian!” kata sang Ibu.
         “Tidak!!! Ibu kandung kami tak bersisik seperti ikan laut,” balas ketiga anak itu bersama-sama.
        Setelah berkata begitu, ketiga anak itu langsung pergi meninggalkan Sang Ibu yang sudah bersisik itu. Mereka menyusuri pantai tanpa arah dan tanpa tujuan yang pasti. Lalu Sang Ibu menjelma menjadi ikan duyung dan kembali menuju laut. 

- SEKIAN
Share:

Cerita Jaka Tarub dan Nawang Wulan

   Pada suatu hari, ada Desa bernama Desa Tarub. Di sana tinggallah seorang janda yang bernama Mbok Randha Tarub. Ketika kepergian suami tercintanya telah me­­ninggal dunia, ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai putranya. Hingga usia remaja tiba dan pemuda itu bernama Jaka Tarub.
    Jaka Tarub anak yang santun. Ia suka menolong pekerjaan ibunya keseharian. Di kesehariannya Jaka Tarub selalu membantu Mbok Randa di ladang. Hasil berladang adalah cara Jaka Tarub dan Mbok Randha menjalani hidup. Mbok Randha sangat sayang terhadap Jaka Tarub seperti anak kandungnya.
    Hingga tiba saatnya Jaka Tarub mulai dewasa. Di usianya, Jaka Tarub memiliki wajahnya tampan dan tingkah lakunya sangat sopan. Di Desa Tarub, Jaka Tarub cukup populer di kalangan gadis. Tetapi Jaka Tarub masih belum ingin memiliki istri. Ia merasa masih ingin berbakti kepada Mbok Randha yang telah membesarkannya. Dan Jaka Tarub be­ker­ja se­makin tekun. Suatu hari, hasil sawah berladang­ mereka melimpah. Sehingga Mbok Randha membaginya dengan te­tang­ga­nya yang membutuhkan. “Jaka Tarub, Wahai anakku. Simbok lihat Jaka sudah besar. Sudah waktunya meminang seorang gadis. Cepatlah memilih wanita dan me­nikah. Simbok sangat ingin menimang cucu darimu, Jaka” kata Mbok Randha.
“Tarub belum ingin menikah, Simbok,” balas Jaka Tarub.
“Tapi jika Simbok suatu saat sudah tiada, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
“Tenanglah, Simbok... Semoga saja Sim­bok berumur panjang”, jawab Jaka Tarub.
Hingga hari berlanjut dan Jaka Tarub tidak melihat Mok Randha. Jadi Jaka Tarub mencari Mbok Randha. “Simbok sakit badan yaa?” tanya Jaka Tarub sambil meraba kening simbok.
“Iya Nak, Simbok tiba-tiba tidak enak badan...” jawab Mbok Randha dengan menahan sakit.
“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. 
Jaka Tarub segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simbok­. Tetapi Mbok Randha ha­nya bisa bertahan sampai hari itu. Hari menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas ter­akhirnya di samping Jaka Tarub.
         Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering berdiam diri. Saat ini sawah di ladang­ tak terurus. 
         “Rasanya sia-sia aku bekerja. Lantas un­­tuk siapa hasil panennya?” Kata Jaka Tarub.
        Hingga tiba suatu malam, Jaka Tarub bermimpi me­makan daging rusa yang sedap. Saat Jaka Tarub banun dari mimpinya, Ia menjadi ber­se­­lera ingin memakan daging rusa. Kemudian Jaka Tarub bergegas pergi ke hutan dengan mem­bawa anak panahnya. Ketika di hutan, Ia ingin memanah seekor rusa. Ia bersembunyi dan berjalan Tapi tak ada seekor rusa yang ditemukannya. Bukan hanya rusa yang tak ditemukan, domba atau sapi pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah mengendap-endap di hutan belantara yang jauh dari campur tangan manusia. Kemudian Jaka Tarub istirahat dan bersandar di bawah pohon sekitar danau telaga. Semerbak angin sepoi-sepoi membuat Jaka Tarub tertidur.
            Di saat yang bersamaan, sayup-sayup terdengar suara tawa dari perempuan yang sedang bermain. Jaka Tarub terbangun dari tidurnya. “Apakah itu suara wanita?” pikir Jaka Tarub Jaka Tarub  melihat ke arah te­la­­­ga. Betapa kagetnya Jaka Tarub, di telaga terdapat tujuh perempuan can­­tik jelita sedang bermain air dan bercanda. Jaka Tarub terpanah melihat ke­­cantikan mereka. Di sekitar telaga, terdapat selendang mereka. Seketika itu Jaka Tarub mengambil satu satu selendang dan menyembunyikannya.
            “Saudaraku, ayo naik ke darat, hari su­dah malam. Kita harus kembali ke ka­yangan ”, Kata Bidadari sulung. Adik-adik Bidadari pun naik ke tepi danau. Mereka kem­bali mengenakan selendang sakti. Na­­­mun ada satu bidadari yang tak mene­­mu­kan selendangnya.
             “kakak sulung, selendangku kenapa tak ada,” kata bidadari bungsu.
           Keenam kakaknya membantu men­­cari selendangnya. Senja telah tiba dan selendangnya tak ditemu­kan. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bi­sa menunggumu terlalu lama. Sementara beradalah di bumi hingga selendangmu ditemukan,” kata Bidadari sulung. “Kami mohon ijin kembali ke kaya­ngan,” tambahnya.
       Mendengar jawaban dan kehilangan selendangnya, Nimas Nawang Wulan menangis sendirian terenga-enga. Di saat ini Jaka Tarub muncul dan menolongnya. Jaka Tarub menemui Nawang Wulan dan mengajaknya pulang ke rumahnya. Walau Nawang Wulan awalnya ketakutan, karena Jaka Tarub sangat baik, Nawang Wulan mau diajaknya ke rumah Jaka Tarub
        Kini hidup Jaka Tarub kembali tak sepi. Beberapa bulan berlalu, hingga tiba saatnya Jaka Tarub meminang Nawang Wulan. Lalu keduanya hidup sangat bahagia. Dan Nawang Wulan melahirkan anak pertama mereka yang bernama Nawangsih.
          Di musim yang tak memungkinkan berladang, Nawang Wulan ber­pesan pada Jaka Tarub, “Kakang, Nimas sedang memasak nasi. Tolong jagalah apinya, Nimas hendak menuju sungai. Tapi syaratnya jangan buka tutup kukusan itu” pinta Nawang Wu­lan. Ketika istri pergi, Jaka Tarub pe­­na­saran dengan larangan sang istri. Sehingga Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ternyata hanya setangkai padi berada di dalam kukusan nasi itu. “Pan­tas saja padi dalam lumbung tak pernah habis. Rupa­nya istriku bisa  memasak dari setangkai padi menjadi nasi matang yang penuh” Kata Jaka Tarub. Ketika Nimas Nawang Wulan pulang, ia mem­buka tutup kukusan nasi, dan hanya setangkai padi ma­sih berada di dalamnya. Saat itu, Nawang Wulan tahu bahwa Jaka Tarub yang telah membuka kukusan nasi, sehingga kesaktiannya seketika. Sejak peristiwa itu, Na­wang Wulan harus menumbuk dan memilah beras untuk dimasakdan berubah menjadi wa­ni­ta biasa. Oleh karena tumpukan pa­di­­nya berkurang hari demi hari. Na­­wang Wulan mencari cara dan melihat seisi rumah mereka. Akhirnya Nawang Wulan menemukan selendang bi­da­­­da­ri­nya terselip di antara tumpukan pa­di. Sehingga Nimas Nawang Wulan mengetahui bahwa Jaka Tarub yang selama ini me­­nyem­bu­nyi­kan selendang itu. Dengan se­ge­ra Ia memakai selendang sakti itu dan pergi menghadap suaminya.
       “Kakang, aku harus kembali ke atas ka­yangan. Tolong Rawatlah Nawangsih. Dan tolong buatkan rumah kecil di sekitar rumah kita. Setiap malam tolong letak­­kan Nawangsih di dalam sana. Aku akan datang dan me­nyusui Nawangsih. Tapi syaratnya Kakang ja­ngan mendekat,” kata Nawang Wulan. Lalu Nawang Wulan pergi terbang ke menuju kayangan.
        Jaka Tarub menuruti pesan terakhir dari Nawang Wulan. Jaka Tarub segera membuat rumah kecil di dekat rumahnya. Setiap malam tiba, Jaka Tarub memandangi Nawangsih ber­­­­main dengan ibunya. Setelah Na­wang­sih tertidur, Nawang Wulan terbang kem­bali menuju ka­ya­ngan. Kejadian itu ter­jadi berulang kali hingga Nawangsih sudah dewasa. Meski seperti ini, Jaka Tarub dan putrinya Nawangsih me­­­­­­rasa bahwa Na­wang Wulan selalu memperhatikan me­reka dari kayangan. Di saat ke­duanya mengalami masa kesusahan, tiba-tiba ada ban­­tu­­an datang. Di kisahkan bahwa itu ada­lah bantuan dari Nawang Wulan.


- SEKIAN
Share:

Translate

Labels

Featured Post

Perang Bubat Antara Majapahit dan Sunda

Sejarah Perang Bubat berasal dari Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Prabu Linggabuana yang bernama Dyah Pitaloka Citr...

About Me

My photo
semua konten blog-blog yang saya publis adalah 100% lulus uji konten dari berbagai Duplicate Checker, terima kasih ........ My Contacts : Instagram : @suhendravebrianto ,, Twitter : @suhendravebrian
-------- SUBSCRIBE untuk mendapatkan tutorial Adobe Photoshop dan After Effect yang super keren.

Recent Posts

Populer Stories

Suhendra Vebrianto. Powered by Blogger.

BTricks

cursor

Mushroom Shroom