Langsung ke konten utama

Mahabarata: Kisah Bhisma dan Pandawa

Pada suatu hari di sebuah negeri yang megah bernama Kerajaan Hastinapura, hiduplah seorang raja yang bijaksana bernama Raja Syantanu. Suatu hari, Raja Syantanu pergi berburu di tepi sungai dan menemui seorang perempuan cantik jelita. Perempuan itu menarik hatinya, dan Raja Syantanu pun meminangnya.

"Aku berjanji tidak akan menegur segala perbuatanmu," kata Raja Syantanu kepada perempuan itu yang kemudian menjadi istrinya.

Namun, ketika istrinya melahirkan, anak-anak mereka satu persatu dihanyutkan ke sungai. Ketika hendak menghanyutkan anak kedelapan, Raja Syantanu melarang istrinya.

"Jangan, biarkan anak ini hidup," kata Raja Syantanu dengan tegas.

Istrinya menjelaskan bahwa anak-anak mereka terkena kutukan, dan yang diselamatkan pun juga terkena kutukan oleh seorang penyihir. Anak yang tidak dihanyutkan itu bernama Bhisma. Untuk menghindari kutukan, Bhisma tidak boleh hidup bersama Raja Syantanu.

Pada suatu hari, Raja Syantanu pergi berburu lagi, kali ini ditemani oleh Satyawati, anak angkat dari Raja Kail. Bhisma dijadikan pekerja oleh Raja Kail, tetapi Bhisma mengetahui alasan di balik pekerjaannya. Ia membawa Satyawati untuk ayahnya dan bersumpah tidak akan menikahinya.

"Aku akan membawa Satyawati untuk ayahku dan berjanji tidak akan menikahinya," kata Bhisma dengan tegas.

Kemudian, Raja Syantanu berangkat dan disusul oleh anaknya. Anaknya meninggalkan dua istrinya yaitu Ambika dan Ambalika. Ambika dan Ambalika disuruh merayu seorang pertapa sakti bernama Pertapa Wysa untuk mendapatkan anak. Bila Ambika merayu, ia akan memiliki anak bernama Dhritarashtra yang buta karena tak sengaja menekan mata pertapa itu. Sedangkan Ambalika yang terlihat pucat melahirkan anak bernama Pandu yang berwajah pucat.

Pandu mempunyai dua orang istri, yaitu Kunti dan Madri. Karena kutukan oleh pertapa, Pandu tidak boleh menjamah istrinya. Suatu hari, ketika Kunti memuja dewa, ia akan dianugerahi lima orang anak. Untuk mengujinya, Kunti memuja dewa surya dan akhirnya mendapatkan seorang anak walaupun akhirnya diasingkan.

Kematian Pandu

Setelah kelahiran anak-anaknya, Pandu berjalan-jalan ke dalam hutan rimba. Ia melihat alam yang indah, pohon-pohon tinggi, dan suara burung yang merdu. Di saat ini, Pandu mencoba untuk merayu istrinya, Madri, dan akhirnya Pandu jatuh mati karena kutukan pertapa.

"Aku sangat sedih atas kematian suamiku," kata Madri dengan air mata berlinang.

Setelah kematian Pandu, Dhritarashtra naik takhta di Kerajaan Hastinapura. Raja Dhritarashtra mencari seorang guru yang ahli dalam mendidik anak-anaknya bersama-sama dengan putra adiknya, yaitu Pandawa. Guru yang mengajari mereka adalah Drona dari Negeri Bhradwaja. Drona pernah hidup dalam kemiskinan dan meminta tolong kepada temannya, tetapi tidak dilayani, sehingga Drona mengajar beberapa murid untuk membalas dendamnya.

Suatu hari, Drona mengumpulkan para putra Raja Hastinapura dan meminta mereka mengerjakan satu perkara sakral. Tidak ada seorang pun yang mau menjawab, kecuali Arjuna, yang menyatakan kesediaannya untuk menolong sang guru.

"Saya siap menolongmu, Guru," kata Arjuna dengan tegas.

Hari demi hari berlalu, Arjuna dilatih Drona menjadi seorang pemanah yang handal. Pada suatu hari, Arjuna bertemu dengan seorang pemuda yang lebih pandai memanah dari dirinya. Pemuda itu bernama Eklawya. Arjuna mengenalkan pemuda itu pada Drona.

"Siapa yang mengajarmu memanah?" tanya Drona.

Eklawya menunjukkan patung Drona yang ada di tempatnya. Drona mengetahui yang sudah terjadi dan meminta upah kepadanya berupa ibu jari milik Eklawya. Sesudah memberikan ibu jarinya, Eklawya kehilangan kekuatannya.

Sayembara dan Perseteruan

Pada suatu hari, Raja Dhritarashtra mengadakan sayembara. Para Pandawa yaitu Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berkumpul di tempat sayembara. Demikian juga para Kurawa di bawah pimpinan Duryodhana. Pertarungan Bhima dan Duryodhana berlangsung hebat, sehingga Drona merasa perlu menghentikan pertandingan agar tidak terjadi perkelahian.

Drona meminta imbalan dari para muridnya untuk menangkap Drupada, seorang Raja Pancala. Para Kurawa pergi menangkap Drupada, tetapi tidak berhasil. Lalu tiba waktunya bagi para Pandawa untuk pergi menangkap Drupada. Dengan mudahnya Arjuna menangkap Drupada dan menghadapkannya pada Drona. Namun, Drona melepaskan Drupada, yang membuat Drupada berniat membalas dendam.

"Aku akan membalas dendam pada Drona," kata Drupada dengan marah.

Raja Dhritarashtra berencana mengangkat Yudhistira menjadi seorang raja karena memang Kerajaan Hastinapura adalah milik ayahanda Yudhistira. Pada masa itu, nama Pandawa sudah dikenal di mana-mana karena kehebatan mereka. Duryodhana, anak Raja Dhritarashtra, sangat iri dan dengki kepada para Pandawa.

Duryodhana membuat istana dari bahan yang mudah terbakar di Warnawata. Ia memuji keindahan istananya dan membujuk para Pandawa untuk tinggal di istana itu. Seorang menteri yang setia, Widura, memberi tahu para Pandawa tentang tipu muslihat dari Duryodhana dan meminta mereka berhati-hati.

"Berhati-hatilah dengan tipu muslihat Duryodhana," kata Widura dengan serius.

Pada suatu hari, istana tersebut terbakar, tetapi para Pandawa bisa menyelamatkan diri dengan mudah. Sesudah kejadian itu, Pandawa hidup sebagai Brahmana.

Sayembara Drupadi

Raja Pancala, putra Drupada, mengadakan sayembara untuk memilih menantu. Barang siapa yang dapat memanah anak panah pusakanya akan dinikahkan dengan Drupadi. Namun, tidak seorang pun yang bisa memanahkannya. Ketika Karna hendak melenturkan anak panah pusaka itu, Drupadi berkata dengan lantang, "Saya tak mau nikah dengan anak tukang kandang yang kotor!"

Karna mengundurkan diri. Kemudian Arjuna mencoba memanahkan anak panah itu hingga lima kali. Setiap kali anak panahnya mengenai cincin pernikahan yang tergantung tinggi. Para Brahmana bersorak. Tetapi para raja tidak terima karena tidak patut seorang Brahmana diambil menjadi menantu. Krisna memberi tahu bahwa Arjuna sebenarnya adalah putra dari Pandu.

Para Pandawa membawa Drupadi pulang ke tempat mereka. Mereka memberi tahu Kunti bahwa mereka mendapatkan hadiah besar hari itu, walau hadiah disamarkan menjadi sebuah harta kekayaan.

"Menikmatilah hadiah itu bersama-sama, Nak," kata Kunti dengan bangga.

Di kemudian hari, Kunti mengetahui bahwa hadiah itu adalah seorang perempuan. Kunti tidak ingin mengubah apa yang dikatakannya. Lalu Drupadi menjadi istri para Pandawa.

Di hutan belantara, para Pandawa membuat kerajaan yang megah. Hutan itu adalah tempat yang tepat menjadi negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah. Lalu Yudhistira mengadakan penobatan. Semua raja besar diundang ke kerajaan oleh para Pandawa. Pada hari penobatan, Krisna dipilih menduduki tempat pertama. Seorang tamu dari Sisupala tidak setuju.

"Jika Sisupala mengganggu Krisna sampai seratus kali, maka ia akan mati dengan sendirinya," kata Bhisma dengan tegas.

Sisupala marah dan ingin membentak Krisna, tetapi ia lupa bahwa ini adalah gangguan ke-101 kali. Sisupala tiba-tiba mati seperti yang telah diramalkan.

Duryodhana ikut hadir dalam penobatan Yudhistira. Ia tinggal di istana Yudhistira dan melihat pernak-pernik serta perlengkapan istana yang indah. Hatinya semakin dengki. Ketika kembali dari istana Yudhistira, ia mencari ide untuk membinasakan para Pandawa. Walaupun Duryodhana tahu bahwa Yudhistira adalah orang yang jujur dan kuat dalam memegang janji, tetapi ia memiliki kelemahan, yaitu suka berjudi.

"Tentu saja, aku bisa memanfaatkan kelemahannya untuk mengalahkannya," pikir Duryodhana dengan licik.

Duryodhana merencanakan permainan dadu dengan Yudhistira, dengan harapan dapat memenangkan kerajaan Hastinapura. Duryodhana mengundang Yudhistira untuk bermain dadu di istana.

"Ayo Yudhistira, mari kita bermain dadu. Pasti akan menyenangkan," ajak Duryodhana dengan senyum licik.

Yudhistira, yang tidak menyadari tipu muslihat Duryodhana, menerima undangan itu dan memutuskan untuk bermain. Dalam permainan dadu itu, Yudhistira bertaruh dengan sangat besar, bahkan memasukkan kerajaan Hastinapura sebagai taruhannya. Sayangnya, Yudhistira kalah dalam permainan tersebut.

"Aku kalah," kata Yudhistira dengan wajah penuh penyesalan.

Duryodhana pun meraih kemenangan dan merebut kerajaan Hastinapura dari tangan Yudhistira dan para Pandawa.

"Kerajaan ini sekarang milikku," kata Duryodhana dengan nada triumf.

Pengasingan Pandawa

Sebagai hukuman atas kekalahannya, Yudhistira dan para Pandawa diasingkan ke hutan selama 13 tahun. Hutan tersebut sangat lebat dan penuh dengan binatang buas. Namun, para Pandawa menghadapi tantangan ini dengan tegar.

"Kita harus bertahan di hutan ini selama 13 tahun, saudara-saudaraku. Kita tidak boleh menyerah," kata Yudhistira dengan semangat.

Di hutan itu, para Pandawa hidup dengan sederhana dan penuh perjuangan. Mereka sering berburu untuk mencari makanan dan melatih keterampilan mereka untuk menjadi lebih kuat. Pada saat yang sama, mereka juga mendapatkan bantuan dari para dewa yang melihat ketulusan hati mereka.

Pertarungan dengan Raksasa

Suatu hari, di tengah pengasingan mereka, para Pandawa menghadapi raksasa yang menyerang mereka. Pertarungan sengit pun terjadi antara para Pandawa dan raksasa tersebut.

"Saudara-saudaraku, kita harus melawan raksasa ini dengan semua kekuatan kita!" teriak Bhima dengan tegas.

Dengan keberanian dan keterampilan mereka, para Pandawa berhasil mengalahkan raksasa itu dan menjaga keselamatan mereka di hutan. Pertarungan ini semakin memperkuat tekad mereka untuk merebut kembali kerajaan Hastinapura.

Setelah menjalani pengasingan selama 13 tahun, para Pandawa akhirnya kembali ke kerajaan Hastinapura. Mereka menuntut hak mereka untuk mendapatkan kembali kerajaan yang direbut oleh Duryodhana.

"Duryodhana, kembalikan kerajaan kami!" kata Arjuna dengan penuh semangat.

Namun, Duryodhana menolak mengembalikan kerajaan itu dan menantang para Pandawa untuk berperang.

"Jika kalian menginginkan kerajaan ini, kalian harus merebutnya dengan perang," tantang Duryodhana dengan angkuh.

Perang Bharatayuda

Perang besar yang disebut Bharatayuda pun terjadi. Perang ini melibatkan dua pihak besar, yaitu Pandawa dan Kurawa. Pertarungan berlangsung dengan sangat sengit dan penuh dengan strategi serta keberanian.

Di tengah perang, para Pandawa bertarung dengan sekuat tenaga. Arjuna dengan keterampilan memanahnya, Bhima dengan kekuatan fisiknya, dan saudara-saudaranya lainnya dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka berjuang dengan penuh semangat demi merebut kembali kerajaan Hastinapura.

Puncak perang Bharatayuda adalah pertarungan antara Bhima dan Duryodhana. Kedua pahlawan ini bertarung dengan sangat hebat. Serangan demi serangan mereka lancarkan, dan suara senjata yang beradu menggema di medan perang.

"Aku tidak akan membiarkanmu merebut kerajaan ini, Bhima!" teriak Duryodhana dengan penuh kemarahan.

"Aku akan mengalahkanmu, Duryodhana, demi kebenaran dan keadilan!" jawab Bhima dengan semangat.

Dengan keberanian dan kekuatannya, Bhima akhirnya berhasil mengalahkan Duryodhana. Pertarungan ini menjadi puncak dari perang Bharatayuda, dan kemenangan berada di tangan para Pandawa.

Kemenangan dan Keadilan

Setelah mengalahkan Duryodhana, para Pandawa mendapatkan kembali kerajaan Hastinapura. Kemenangan ini adalah simbol dari keadilan yang akhirnya ditegakkan. Yudhistira dinobatkan kembali sebagai raja yang memerintah dengan bijaksana, dan kerajaan Hastinapura kembali makmur di bawah kepemimpinannya.

 

Pesan Moral

Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa kebenaran dan keadilan akan selalu menang, meskipun harus melalui berbagai cobaan dan rintangan. Kejujuran, keberanian, dan kesetiaan adalah nilai-nilai yang harus selalu dijunjung tinggi.

Karakter dalam Cerita

1.              Raja Syantanu

2.              Bhisma

3.              Satyawati

4.              Ambika

5.              Ambalika

6.              Pertapa Wysa

7.              Dhritarashtra

8.              Pandu

9.              Kunti

10.          Madri

11.          Drona

12.          Arjuna

13.          Eklawya

14.          Drupada

15.          Duryodhana

16.          Yudhistira

17.          Bhima

18.          Nakula

19.          Sadewa

20.          Widura

21.          Karna

22.          Krisna

23.          Sisupala

24.          Drupadi

 


- SEKIAN 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Si Kancil dan Sang Gajah

      Pada suatu hari yang petang, sang Kancil yang cerdik berjalan pelan-pelan di dalam hutan lebat. Ia sedang berjalan pelan-pelan dan tiba-tiba Kancil tak sengaja terjatuh ke jurang yang sangat dalam. Ia coba untuk keluar berkali-kali tapi nasibnya malangnya dan tidak berdaya. Setelah segala usaha yang dilakukan kancil sia-sia, sang Kancil pun berpikir, “Macam mana aku bisa keluar dari lubang yang sempit nan dalam ini? Kalau hujan tiba, aku bisa tenggelam disini!?” walau lama berpikir dan tak ada ide yang tepat untuk Kancil keluar dari lubang ini, sang Kancil tetap tidak mau berputus asa dan terus berfikir untuk keselamatannya. Dalam situasi yang kehabisan akal mencari ide, Kancil mendengar bunyi tapak kaki yang besar, “Hmmm... Kalau bunyi tapak kaki ramai ni, ini tak lain, pasti hewan gendut dan berkaki empat yakni gajah... Kesempatan ni...” Lalu Kancil mendapat satu ide yang tepat menyelamatkan diri dari lubang yang dalam itu. Endi...

Perang Bubat: Antara Cinta dan Kehormatan

Pada suatu hari, Prabu Hayam Wuruk, raja Kerajaan Majapahit, melihat lukisan seorang putri yang sangat cantik, Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Prabu Linggabuana, raja Kerajaan Sunda. Lukisan itu dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman berbakat bernama Sungging Prabangkara. Hayam Wuruk tertarik kepada Dyah Pitaloka dan ingin memperistrinya. Hayam Wuruk berkeinginan mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Dia juga ingin menambah persekutuan dengan Negeri Sunda. Berdasarkan restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Prabu Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Pernikahan akan diadakan di Kerajaan Majapahit. Namun, pihak Kerajaan Sunda merasa keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Menurut adat yang berlaku di Nusantara, pengantin pria harus datang kepada pihak pengantin perempuan. Pihak Kerajaan Sunda juga berpikir bahwa ini adalah jebakan diplomatik K...

Kelinci dan Kura-kura: Perlombaan yang Mengubah Segalanya

Pada zaman dahulu, di sebuah hutan yang hijau dan subur, hiduplah dua hewan yang sangat berbeda sifatnya, yaitu Kelinci dan Kura-kura. Kelinci selalu merendahkan Kura-kura karena jalannya yang lambat. Padahal, dengan teman lainnya, Kura-kura selalu hidup rukun dan bersahabat. "Hai Kura-kura! Jalanmu lambat sekali!" seru Kelinci dengan suara mencemooh setiap kali mereka bertemu. Kura-kura yang rendah hati selalu sabar mendengarkan ejekan Kelinci. "Jangan menghina orang lain, Kelinci. Setiap makhluk punya kelebihan dan kekurangan masing-masing," jawab Kura-kura dengan tenang. Suatu hari, Kelinci merasa sangat jengkel karena Kura-kura selalu bersikap tenang dan tidak pernah marah. Kelinci pun menantang Kura-kura untuk mengadakan lomba lari. "Akan kuperlihatkan kepada semua binatang bahwa aku bisa lari sepuluh kali lebih cepat daripadamu," kata Kelinci dengan penuh kesombongan. "Hentikanlah bualanmu itu, Kelinci! Mari kita buktikan dengan perbuata...