Langsung ke konten utama

Kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan

Pada suatu masa, di sebuah desa yang damai bernama Desa Tarub, hiduplah seorang janda bernama Mbok Randha Tarub. Setelah kehilangan suaminya, Mbok Randha memutuskan untuk mengangkat seorang anak laki-laki sebagai putranya. Anak itu diberi nama Jaka Tarub.

Jaka Tarub adalah anak yang santun dan suka menolong. Ia selalu membantu Mbok Randha dalam pekerjaan sehari-hari di ladang. Hasil dari berladang inilah yang mereka gunakan untuk menjalani kehidupan. Mbok Randha sangat menyayangi Jaka Tarub seperti anak kandungnya sendiri.

Ketika Jaka Tarub mulai beranjak dewasa, ia tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sopan. Di Desa Tarub, Jaka Tarub terkenal di kalangan gadis-gadis muda. Namun, Jaka Tarub masih belum ingin menikah. Ia merasa masih ingin berbakti kepada Mbok Randha yang telah membesarkannya.

Suatu hari, hasil panen mereka melimpah. Mbok Randha membagikan sebagian hasil panen kepada tetangga yang membutuhkan.

"Jaka Tarub, anakku, Simbok lihat Jaka sudah besar. Sudah waktunya meminang seorang gadis. Cepatlah memilih wanita dan menikah. Simbok sangat ingin menimang cucu darimu," kata Mbok Randha dengan lembut.

"Tarub belum ingin menikah, Simbok," jawab Jaka Tarub dengan sopan.

"Tapi jika Simbok suatu saat sudah tiada, siapa yang akan mengurusmu?" tanya Mbok Randha penuh kekhawatiran.

"Tenanglah, Simbok... Semoga saja Simbok berumur panjang," jawab Jaka Tarub dengan penuh harapan.

Waktu terus berlalu, dan suatu hari Jaka Tarub tidak melihat Mbok Randha. Ia mencari Mbok Randha ke seluruh penjuru rumah.

"Simbok sakit badan, ya?" tanya Jaka Tarub sambil meraba kening Simbok.

"Iya, Nak. Simbok tiba-tiba tidak enak badan..." jawab Mbok Randha dengan lemah.

"Badan Simbok panas sekali," kata Jaka Tarub dengan cemas.

Jaka Tarub segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres Simbok. Namun, Mbok Randha hanya bisa bertahan sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya di samping Jaka Tarub. Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering berdiam diri dan sawah ladang mereka tidak terurus.

"Rasanya sia-sia aku bekerja. Lantas untuk siapa hasil panennya?" keluh Jaka Tarub dengan sedih.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa yang lezat. Saat bangun dari mimpinya, ia merasa sangat ingin memakan daging rusa. Kemudian Jaka Tarub bergegas pergi ke hutan dengan membawa anak panahnya. Ia berjalan mengendap-endap di hutan belantara yang jauh dari campur tangan manusia, namun tak satu pun rusa yang ditemukannya. Jaka Tarub terus mencari hingga ia merasa lelah dan bersandar di bawah pohon sekitar danau telaga. Angin sepoi-sepoi yang menyegarkan membuatnya tertidur.

Di saat yang bersamaan, terdengar sayup-sayup suara tawa dari perempuan yang sedang bermain air. Jaka Tarub terbangun dari tidurnya dan melihat ke arah telaga. Betapa kagetnya Jaka Tarub, di telaga terdapat tujuh perempuan cantik jelita sedang bermain air dan bercanda. Mereka adalah bidadari dari kayangan yang turun ke bumi untuk mandi di telaga.

"Saudaraku, ayo naik ke darat, hari sudah malam. Kita harus kembali ke kayangan," kata Bidadari sulung.

Adik-adik bidadari pun naik ke tepi danau dan mengenakan selendang sakti mereka. Namun, ada satu bidadari yang tidak menemukan selendangnya.

"Kakak sulung, selendangku kenapa tak ada," kata bidadari bungsu dengan cemas.

Keenam kakaknya membantu mencari selendangnya. Senja telah tiba, dan selendangnya tetap tak ditemukan.

"Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu terlalu lama. Sementara beradalah di bumi hingga selendangmu ditemukan," kata Bidadari sulung. "Kami mohon ijin kembali ke kayangan," tambahnya.

Mendengar jawaban tersebut dan merasa kehilangan selendangnya, Nimas Nawang Wulan menangis terisak-isak. Di saat ini, Jaka Tarub muncul dan menolongnya. Jaka Tarub menemui Nawang Wulan dan mengajaknya pulang ke rumahnya.

"Nimas, jangan takut. Aku akan melindungimu," kata Jaka Tarub dengan lembut.

Kini hidup Jaka Tarub tidak lagi sepi. Beberapa bulan berlalu, hingga tiba saatnya Jaka Tarub meminang Nawang Wulan. Keduanya hidup sangat bahagia, dan Nawang Wulan melahirkan anak pertama mereka yang diberi nama Nawangsih.

Di musim yang tidak memungkinkan untuk berladang, Nawang Wulan berpesan pada Jaka Tarub, "Kakang, Nimas sedang memasak nasi. Tolong jagalah apinya, Nimas hendak menuju sungai. Tapi syaratnya jangan buka tutup kukusan itu."

Ketika istri pergi, Jaka Tarub merasa penasaran dengan larangan sang istri. Ia membuka tutup kukusan nasi itu. Ternyata, hanya ada setangkai padi di dalam kukusan nasi itu.

"Pantas saja padi dalam lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku bisa memasak dari setangkai padi menjadi nasi matang yang penuh," kata Jaka Tarub takjub.

Ketika Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan nasi dan hanya melihat setangkai padi masih di dalamnya. Ia tahu bahwa Jaka Tarub yang telah membuka kukusan nasi, sehingga kesaktiannya hilang seketika.

"Kakang, apa yang telah kau lakukan? Kini aku harus memasak seperti manusia biasa," kata Nawang Wulan dengan sedih.

Sejak peristiwa itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan memilah beras untuk dimasak seperti wanita biasa. Oleh karena tumpukan padi berkurang hari demi hari, Nawang Wulan mencari cara dan memeriksa seluruh rumah mereka. Akhirnya, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Dengan segera, ia memakai selendang sakti itu dan menghadap suaminya.

"Kakang, aku harus kembali ke kayangan. Tolong rawatlah Nawangsih. Dan tolong buatkan rumah kecil di sekitar rumah kita. Setiap malam tolong letakkan Nawangsih di dalam sana. Aku akan datang dan menyusui Nawangsih. Tapi syaratnya Kakang jangan mendekat," kata Nawang Wulan.

Lalu Nawang Wulan terbang menuju kayangan. Jaka Tarub menuruti pesan terakhir dari Nawang Wulan. Ia segera membuat rumah kecil di dekat rumahnya. Setiap malam tiba, Jaka Tarub memandangi Nawangsih bermain dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan terbang kembali ke kayangan. Kejadian itu terulang hingga Nawangsih sudah dewasa. Meski begitu, Jaka Tarub dan putrinya Nawangsih merasa bahwa Nawang Wulan selalu memperhatikan mereka dari kayangan. Saat mereka mengalami masa kesusahan, tiba-tiba ada bantuan datang, dikisahkan bahwa itu adalah bantuan dari Nawang Wulan.

Pesan moral :

cinta sejati akan selalu menemukan jalannya, meskipun ada rintangan dan cobaan yang menghadang. Kesetiaan dan ketulusan hati adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati.

Karakter dalam Cerita

1.         Jaka Tarub

2.         Nawang Wulan

3.         Mbok Randha Tarub

4.         Bidadari sulung

5.         Nawang Wulan (bidadari bungsu)

6.         Nawangsih

 



- SEKIAN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Si Kancil dan Sang Gajah

      Pada suatu hari yang petang, sang Kancil yang cerdik berjalan pelan-pelan di dalam hutan lebat. Ia sedang berjalan pelan-pelan dan tiba-tiba Kancil tak sengaja terjatuh ke jurang yang sangat dalam. Ia coba untuk keluar berkali-kali tapi nasibnya malangnya dan tidak berdaya. Setelah segala usaha yang dilakukan kancil sia-sia, sang Kancil pun berpikir, “Macam mana aku bisa keluar dari lubang yang sempit nan dalam ini? Kalau hujan tiba, aku bisa tenggelam disini!?” walau lama berpikir dan tak ada ide yang tepat untuk Kancil keluar dari lubang ini, sang Kancil tetap tidak mau berputus asa dan terus berfikir untuk keselamatannya. Dalam situasi yang kehabisan akal mencari ide, Kancil mendengar bunyi tapak kaki yang besar, “Hmmm... Kalau bunyi tapak kaki ramai ni, ini tak lain, pasti hewan gendut dan berkaki empat yakni gajah... Kesempatan ni...” Lalu Kancil mendapat satu ide yang tepat menyelamatkan diri dari lubang yang dalam itu. Endi...

Rubah dan Pohon Anggur yang Menggiurkan

  Pada suatu hari yang cerah di sebuah hutan yang rimbun dan penuh dengan kehidupan, hiduplah seekor rubah bernama Ruru. Ruru dikenal sebagai rubah yang cerdik dan penuh rasa ingin tahu. Hutan tempat Ruru tinggal selalu dipenuhi dengan suara kicauan burung, gemericik air sungai, dan bayangan pepohonan yang sejuk. Semua hewan di hutan itu, dari Kelinci hingga Rusa, hidup damai satu sama lain. Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyelinap di antara dedaunan, menciptakan bayangan indah di tanah. Angin sepoi-sepoi berhembus, menggerakkan ranting-ranting pohon dan membuat dedaunan bergoyang lembut. Suara burung berkicau merdu, menambah keindahan pagi di hutan. Di hutan itu, ada juga suara gemerisik daun yang jatuh ke tanah. Terkadang, terdengar suara binatang kecil seperti serangga yang merayap di bawah daun-daunan. Ketika Ruru berjalan, dia merasakan kelembutan rumput di bawah kakinya dan aroma segar dari bunga-bunga liar yang bermekaran. Ruru, dengan bulunya yang berkilauan di b...

Kejujuran si Gembala Kecil: Pelajaran yang Berharga

               Di sebuah desa yang damai dan sejuk, hiduplah seorang anak gembala kecil bernama Bima. Bima dikenal oleh semua orang di desanya sebagai anak yang rajin, cerdas, dan terutama jujur. Setiap hari, ia menggembalakan domba-domba keluarganya di padang rumput yang luas dan hijau. Suatu hari, ketika Bima sedang menggembalakan domba-dombanya, ia menemukan sebuah kantong kecil yang tergeletak di tanah. Dengan hati-hati, Bima mengambil kantong itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya Bima ketika menemukan bahwa kantong itu penuh dengan emas yang berkilauan di bawah sinar matahari. "Wah, ini pasti kantong emas milik seseorang yang hilang," kata Bima kepada dirinya sendiri. "Aku harus mencari tahu siapa pemiliknya." Bima berpikir sejenak dan memutuskan untuk membawa kantong emas itu ke kepala desa. Ia berharap kepala desa bisa membantunya menemukan pemilik kantong emas tersebut. Dalam perjalanan menuju rumah kepala desa, Bima bertem...